Jumat, 12 Juli 2013

Cerita Sahabat #4

#RENATA#
.
Aku nggak tenang,  firasatku nggak enak. Pelajaran trigonometri ini semakin mengusik pikiranku. Ini bakal jadi hari menyebalkan!. 
“Mikha…. Itu Mikha, semoga dia masuk kelas kita! Semoga!” seorang anak berteriak ketika dia melihat si anak baru itu berjalan menyusuri koridor menuju ke suatu tempat-semoga bukan kesini. 
“Mikha!!! Mikha!!!” teriakan anak-anak kelas menggila, ini bukan kali pertama aku mendengar teriakan seperti itu. Tapi ini jauh lebih menyebalkan dari teriakan sebelumnya-teriakan dimana dia baru keluar dari mobilnya. Di sebelah si anak baru itu ada guru BP. tapi tetap saja, si anak baru tak tau diri itu. Berjalan mendahului guru BPku, seakan dia tak melihat siapa yang sedang mengantarnya. Ini akan jadi pemandangan paling buruk! Paling buruk!!!!
.
Dia masuk ke kelasku, semua temanku berteriak memanggil namanya , tak terkecuali Lisa. Teman sebangkuku yang juga sahabatku. Dia meneriakan namanya sekeras yang dia bisa. Beberapa detik setelah si anak baru itu masuk. Guru BPku menyusul dibelakangnya. 
“Dia akan jadi teman baru kalian..” kata guru BPku cuek. Lagi-lagi semua temanku berteriak senang. Ini bodoh! Ini sudah kelewatan. “silahkan perkenalkan diri..” guru mempersilahkan. 
“nama gue Mikha. Lo semua nggak perlu tau nama panjang gue. Gue baru dateng ke kota banjir ini. Kalo kalian gak mau terima gue sebagai temen. Lo mending gak usah temenan sama gue..” dia lebih keliatan menyebalkan! Dia tak tahu sopan. Please, di kelas ini ada 2 guru yang harus dihormatin. Tapi itu mungkin hanya pendapatku seorang, teman-temanku cuman speechless ngeliat Mikha membuka mulut.
“kamu boleh duduk situ!” guru BPku menunjuk ke salah satu bangku kosong di sudut kelas.
“No, Mrs. Jen. Aku mau duduk  disana!” dia menunjuk kearah Lisa. Lisa yang ditunjuk malah kegirangan. “bukan di samping lo. Tapi lo pindah, gue duduk disana” dia berkata tenang. Tapi nadanya tetap menyebalkan. Lisa mengangguk cepat dengan tambahan senyuman manis di wajahnya. Mikha mendekat. Lisa segera memungut tasnya dan berjalan menuju bangku di kosong di belakang sana. Aku gak ngerti apa yang dipikirkan si bodoh itu. Apa maunya sih. “Halo!” katanya sok manis memulai pembicaraan. Dia meletakkan tasnya di kursi sampingku. 
“gak usah sok baik deh!” aku melengos, aku tak mau menatapnya. 
“menurut lo kayak gitu?” dia berbicara lembut sekarang. Oh stop! Jangan seperti itu. Aku masih tak menatapnya. Aku hanya terfokus pada papan tulis di depan. Tapi tidak dengan hatiku, dia mulai berderak kencang. Aku harap Mikha tidak mendengarkan suara berisik ini.
“Besok ada jam saya kan? Saya pakai ulangan trigonometri yang barusan saya ajarkan!” Guru matematikaku berkata tenang tapi menakutkan- bagi kami. Sayangnya ketenangannya bertolak belakang buat muridnya. Satu persatu ku lihat ekspresi temanku. Ada yang terlihat mual, ada yang seakan tercekik, ada yang kaget hingga mulutnya tarbuka lebar, ada yang protes kecil. Dan ada yang tenang sambil tersenyum polos… senyum?. Mikha? Gila, dia santai parah! 
“Gue bisa ajarin lo, kalo lo mau?” seperti sadar dia kuperhatikan, dia bertanya lembut, dia tersenyum lagi. 
“gue gak butuh!” ups, aku harap dia nggak marah.
***
“kamu jadi makan apa, Lis?
“aku dibawain bekal sama mama. Kamu?”
“sama. Aku juga bawa”
.
Ini jam istirahat. Terasa menyenangkan, jika tahu sekarang aku bebas dari teman baru sebangkuku. Orang yang bermuka seribu, sehingga dia bisa punya mood yang berbeda-beda per detiknya. Aku harap barusan aku tak membicarakannya. Karena sekarang aku melihatnya berjalan mendekati kursiku dan Lisa. Dia berjalan santai dengan iring-iringan penggemar barunya. Ini harapan terakhirku ‘semoga-dia-tadi-tidak-melihatku’. Aku pura-pura tak melihatnya tadi, aku menutupinya dengan cara menundukkan kepala, membiarkan rambutku tergerai. Kurasa kau hanya bisa melihatku jika kau persis berada di depanku. Dan aku mulai makan bekal dan seakan tidak terjadi apa-apa. Kantin jadi sangat ramai karena anak-anak mulai meneriakkan namanya. Tak terkecuali Lisa yang ada di sampingku ini. “Mikhaaaaa!!!!” suaranya terdengar menusuk telinga. Seandainya disini tidak ada Mikha, aku pasti sudah mencakar mulutnya sekarang. Aku mencuri pandang dari ekor mataku. Dia semakin mendekat, Tuhan!! Aku mohon jauhkan si malaikat-iblis ini dari ku. Tuhan tak berpihak padaku, Mikha sudah duluan sampai di sampingku. Aku tetap melahap roti isi dagingku dan menelannya paksa. 
“Hay Mikh!” sapa Lisa riang. 
“Hay girl” jawab Mikha sok cool- atau memang benar-benar cool. Aku masih menunduk kali ini. “Nih…!” Mikha menyentuh rambutku dan mengikatnya ke atas telinga. Aku terdiam, bingung apa yang terjadi barusan. Aku menyentuh benda yang barusan di selipkan Mikha. Jepit denim. Deg-deg-deg-deg-deg… jangan sampai Mikha melihat mukaku. Aku yakin, mukaku semerah kepiting rebus dengan saos tomat sekarang. “Hobby banget sih poni nutupin mata? Kalau gini kan lebih enak diliatnya!” Dia menatapku sambil tersenyum. Entah berapa kali ini dia sudah tersenyum seperti itu. Tunggu dulu tadi dia bilang “banget”, tapi dia kan baru kali ini melihatku seperti ini?!
***

#MIKHA#
.
Yah, kelakuanku sedikit berani sekarang. Atau mungkin sedikit gila. Itu terbukti dengan berhentinya teriakan-teriakan wanita yang mulai mengacaukan hidupku, ketika aku menjepit rambut Renata. Hening sejenak. Tapi dia mengangkat kepalanya dan balas menatapku kali ini. 
“jujur deh Mikh, mau lo apaan sih?” dia berbicara pelan, mungkin hampir berbisik. Nadanya tidak marah-biasanya dia marah. Tapi sekarang lebih ke heran. 
“Hmm.. nothing. Kalau gitu gue balik ke kelas aja kali ya?” bingung mau bersikap seperti apa. Aku memutuskan menjawab seperti itu. mau gimana lagi namanya juga orang SALAH TINGKAH!. Ketika aku akan bangkit dari dudukku. Tak kusangka, Renata memegang pergelangan tanganku! Aku gemetar. 
“Sebentar, Mikh. Tunggu sini ya!” setelah berbicara seperti itu, dia lari menuju ke salah satu kios terdekat yang bisa dia kunjungi. Dan hebatnya, dalam waktu kurang dari semenit, dia sudah kembali dan berada di depanku sekarang. 
“ini.” Dia menyodoriku sekotak kecil coklat batangan. “semoga ini bisa ngeganti harga jepit lo.”  Aku menatapnya tanpa mampu berkata-kata. Ya Tuhan ini untuk pertama kalinya aku melihatnya tersenyum. Dia jauh lebih manis dengan jepit denim pemberianku.
“Thanks” aku mengambil coklat dari tangannya. Jika dia tahu, aku sedang panik sekarang.
“gue juga mohon bantuannya, ya?” dia bertanya malu-malu. 
“hah? Bantuan buat..?” aku bertanya datar. Jujur aku bingung ngelihat dia bingung juga. Dia tersipu sebelum menjawab ku, 
“Ajarin Trigonometri buat ulangan besok ya?” lagi-lagi dia menunduk, dia memainkan jemarinya. 
“Tentu! Dengan senang hati!” entah jawabanku bernilai apa buat dia. Dia menatapku lalu tersenyum lagi. Kali ini lebih tulus. Senyumnya yang kedua jauh lebih ceria. Kedua? Tidak ini bukan kedua kali saja. Aku rasa aku sering melihat senyum seperti ini. Tapi dimana? Kapan? Siapa?...
.
*bersambung*

By: TIARA PRADITA

6 komentar:

  1. what mikha malaikat-iblis?? hahhha nice nice

    BalasHapus
  2. aseeekkk asekk.. aku kapan nih keluarnya? hhahaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Segera! aku juga nggak sabar ngeluarin kakak :D haha :)

      Hapus
  3. hahhaha hasikk dh klo gitu..pkoknya lanjut trus ya :)

    BalasHapus