#RENATA#
“kamu
juga! Kamu disini paling tua! Kasih contoh yang baik kek
sama adek kamu. Bukan dibiarin kayak gini! Seumur hidup mama gak pernah rasanya
ngajari kalian hal bodoh kayak gini!” Kali ini Mama menunjuk kasar ke arah kak
Lydia. Yang ditunjuk mulai riskan sekarang. Yang semula dia hanya diam saja,
sekarang mulai maju perlahan dan menjawab lantang tuduhan Mama. Kak Lydia maju
mendahului aku dan Kak Gita. Terima ini! Kakak pertamaku!!!!.
“Mama gak pernah punya hak ya Ma
buat marahin kita. Bahkan mamapun gak pernah ada buat kita!” Kak Lydia berkata lantang, namun tak emosi.
Matanya menunujukkan kalau dia tenang.
“Terserah apa kata kalian, deh.
Terserah. Mama udah capek! Mama mau tidur!” Mama berkata cepat dan berlalu
begitu saja tanpa mentap kami lagi. Kak Gita ikut-ikutan maju kali ini,
“iya deh Ma, yang capek sama kerjaannya. Yang gak pernah nemenin anak-anaknya!”. Wow! Gila kak Gita. Aku rasa perkataan itu sedikit tidak sopan, tapi benar!. “Brak!” terdengar Mama menutup pintu kamarnya. Aku duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamuku. Kak Lydia mengikutiku dan duduk di sampingku. Kak Gita yang melihat kak Lydia, ikutan duduk juga. Tapi di bawah. Kak Gita mencomot cemilan yang ada dimeja itu sebelum bicara,
“kayaknya kita dapet sial malam ini!” Kata kak Gita, dengan tambahan suara ‘kress’ ketia dia menggigit cemilannya.
“iya deh Ma, yang capek sama kerjaannya. Yang gak pernah nemenin anak-anaknya!”. Wow! Gila kak Gita. Aku rasa perkataan itu sedikit tidak sopan, tapi benar!. “Brak!” terdengar Mama menutup pintu kamarnya. Aku duduk di kursi panjang yang ada di ruang tamuku. Kak Lydia mengikutiku dan duduk di sampingku. Kak Gita yang melihat kak Lydia, ikutan duduk juga. Tapi di bawah. Kak Gita mencomot cemilan yang ada dimeja itu sebelum bicara,
“kayaknya kita dapet sial malam ini!” Kata kak Gita, dengan tambahan suara ‘kress’ ketia dia menggigit cemilannya.
“Malam ini? Memang tadi siang ada apa?” Kak Lydia bertanya dengan
bijak dan lembut ciri khasnya. Kak Lydia memang sosok figure mama untuk kami.
Bukan karena dia paling tua dari kami. Hanya saja aku rasa kak Lydia memberikan
kasih sayang yang tulus buat kami adik-adiknya.
“Ya, tadi aku ketemu sama anak
kece gitu, Kak. Namanya Reuben. Yang bikin gak bisa lupa itu ya senyumnya yang
manis itu. Ahhhhh!!!...” Kak Gita terlihat berseri menjawab pertanyaan kak Lydia.
Matanya menerawang keatas, sambil tersenyum kegirangan. “Reuben?” Kak Lydia
bertanya lagi.
“Iya, dia bener-bener kece banget kak. Apa lagi kalo senyum,
matanya jadi ngilang. Jadi kayak gini, nih!”
Kak Gita menirukan gaya anak cowok yang diceritakannya itu, dengan
menarik kesamping sudut matanya.
“Hahaha!” aku dan kak Gita tertawa bebarengan,
sedangkan kak Lidya hanya tersenyum.
“Tapi gak tau kenapa ya, Git. Kayaknya
kakak gak asing sama nama itu. Hmm.. ntahlah!” kak Lydia terdiam sebentar, lalu
ganti menatapku. “Kamu sendiri kenapa? Rasanya ada yang aneh semenjak kamu
pulang tadi. Kamu gak biasanya senyum-senyum gitu kalau lagi dirumah. Bahkan
kamu juga gak menggubris perkataan mama yang lumayan kasar buat kamu tadi” Kak
Lydia berkata panjang lebar sambil membelai rambutku. “ini apa?” kak Lydia
menyentuh jepit denimku yang dipasang, yaah.. you know.. untuk menahan poniku. “ah ini! Bukan apa-apa haha.. ya udah, Kak! Renata mau ke
kamar dulu ya!” aku berlari kecil. Tapi samar-samar aku mendengar perbincangan
kak Gita dan Kak Lydia sebelum menutup kamar.
“Dia kenapa sih, Kak?”,
“entahlah, Git. Mana kakak tahu. Yang jelas kakak tau Cuma satu… kayaknya kakak
punya adek-adek yang sudah jatuh cinta….”
***
Ini
sudah jam 12 malam, waktu aku menatap jam glow in the dark di meja samping
spring bedku. Tapi aku masih belum bisa menutup mata. Jika aku menutup mata.
Aku hanya bertemu bayangan Mikha. Kalau aku ngebuka mata. Aku masih melihat
kejadian nyata tadi. Sepertinya aku bisa begadang cuma karena memikirkan si manis
bermata bening itu. .. ahhh…
*flashback*
Aku
menatap jam Baby-G pinkku. Sial, ini sudah hampir satu jam dari waktu janjian,
aku terlambat. Semoga dia masih menungguku. Semoga. Aduhh.. ini kenapa ada
acara macet segala sih. Lewat jalan alternative aja deh. Kenapa gak kepikiran
dari tadi? Duh! Bego!
.
Itu
Cafenya. Dan itu ruangan out door, yang katanya, “gue bakal pesen kursi di
ruangan out door!”. Ya semoga dia juga tidak bohong dengan, “Itu Café punya om
Gue, jadi kita bisa belajar sampai selama apapun juga!”. Aku memarkir kilat
motorku. Setelah meletakkan helm di spion yang aku rasa bakal aman. Aku berlari
kencang dan masuk ke dalam Café itu. Aku mulai mencar-cari meja yang bernomer
46. Tepat!. Itu bangkunya. Persis di depan pagar Café. Payungan besar serasa
menutupi sinar matahari yang akan duduk di 2 bangku itu. Ya, 2 bangku. Tanpa
orang yang duduk. Pasti dia sudah pulang, orang bodoh mana sih yang mau
menunggu cuman buat ngajarin aku. Sia-sia. Aku capek. Aku mungkin butuh
istirahat setelah berpanas-panasan di area macet di Jakarta. Aku duduk di salah
satu bangku kosong di situ. Aku duduk dan menatap kearah tamannya. Ada lampu
hias yang mungkin berkedip jika malam hari. Ada juga air mancur dengan ukiran
halus di pinggirannya. Ada juga tanaman yang terpotong rapi sehingga
menimbulkan kesan nyaman pada setiap orang yang melihatnya. Tapi aku belum bisa
nyaman sekarang. Jika dia tidak ada, bagaimana ulanganku besok?,
“sudah
sampai?” suara dari belakang mengagetkanku.
“eh?”
aku menengok cepat, seketika itu juga mungkin aku sudah terhipnotis. Tuhan!
Apakah ini salah satu malaikatmu?. Hem pendek birunya sangat kontras dengan
dalaman putih polos yang dipakainya. Belum lagi celana jeans panjang dengan
gesper perak yang melingkarinya. Dia menjadi semakin cool dengan sepatu nike
merahnya. Belum lagi rambut model acakannya yang dibiarkan begitu saja
mengikuti arah angin. Matanya yang bening itu mentapku bingung.
“Halo!! Adakah
orang disini!” ini untuk kedua kalinya dia menyadarkanku. Aduh malunya. “Nih,
tadi gue tinggal sebentar buat ambil ini!” Dia menyodorkan nampan yang
dibawanya tadi. Aku menerimanya dan meletakkannya di meja kami. Dua gelas
coklat dingin dengan kentang goreng keju, mungkin akan menjadi makanan terlezat
yang aku makan seminggu ini. “Udah lama sampainya?” Mikha bertanya sambil
menarik kursi untuk dirinya.
“Barusan. Tadi dijalan macet! Lo udah lama ya
nungguin gue?” yang ditanyain bukannya langsung ngejawab malah ngelirik
pergelangan tangan tanpa jam.
“Ya gak lama kok. Cuma sejam aja. Masih belum
bikin gue jadi mumi hidup atau fosil raksasa!” dia tersenyum jahil menatapku.
Oh ini bukan candaan. Aku salah,
“Sorry Mikh, Sorry. Apa yang bisa gue lakuin
buat ngeganti kesalahan gue?” aku bingung. Mikha malah ber‘hmmm’ saja dan
tersenyum jahil-lagi lagi.
“lo harus dapet nilai diatas 7 buat ulangan besok!”
Hah Cuma itu? Cuma itu? Apa ini Cuma buat ngemotivasi aku aja?. Mungkin dia
ngerasa aku kebingungan akhirnya dia menambahkan, “Mungkin ditambah 2 scoop ice
cream coklat dan mint. Juga boleh!” Hahaha kali ini aku tertawa bersamanya
sebelum aku mengiyakannya.
.
“Tuh
bisa kan!” Mikha memandangku yang sedang bergulat dengan otakku untuk
mengerjakan soal aneh dari buku paket matematikanya. Dia sih enak, Cuma bisa
ngeliat aja sambil minum coklat dingin miliknya.
“selesai! 15 soal yang, yah…
susah susah gampang. Mungkin lebih condong ke susahnya kali!” aku merenggangkan
kedua tanganku. Mikha tertawa. Dia menyodorku coklat dingin bagianku.
“diminum
gih! Mumpung esnya belum cair semua!”. Dia benar, aku bahkan belum menyentu
permukaan gelas coklatku dari tadi. Aku menyuruputnya dengan kalap.
“ah!
Segarnya… mau dong di traktir ginian lagi!” aku menggodanya. Dia malah
memperhatikanku lalu tertawa,
“bilang aja lo mau ngajak gue nge-date lagi!”.
Dia tertawa puas.
“Gak ya! GR aja!”. Tertawanya malah menjadi jadi. Kring!
Suara telepon.
“Telpon tuh!” Mikha menunjuk BBku yang aku biarkan tergeletak di
meja. Muncul tulisan ‘Kak Ridha Drira calling’ di layar BBku.
“Halo?”,
“Re, ntar ketemuan jam 5. Ada yang mau gue omongin sama elo. Ntar gue juga ngajak kak Tiexa. Ketemuan di Café star dideket jalan Gajah Mada ya!” klik. Kak Ridha mematikan teleponnya, bahkan sebelum aku menjawab, “iya” atau “liat nanti aja ya!”. Tunggu dulu, tapi ini kan Café Star. Berarti aku sudah disini sebelum dia mengajakku. Ini kebetulan yang aneh.
“Kenapa lo?” Mikha bertanya heran. Mungkin dia bingung ngeliat aku ketawa tiba-tiba setelah berpikir sejenak.
“Gak papa kok. Haha!” aku menjawab sambil belum berhenti tertawa.
“eh iya, Kata Tita lo vokalis band ya?” tiba-tiba dia tertarik.
“ya, begitulah. Suara gue emang gak seenak Maudy Ayunda sih”,
“Oh ya? Gue juga. Gue vokalis di band ‘The Overtunes’ band yang gue bentuk bareng kakak-kakak gue”. Pembicaraan ini menjadi lebih menarik, ketika kita sama-sama bersemangat membahas hal ini.
“nama band gue ‘Drira’. Band gue lagi sibuk gitu, soalnya mau ada lomba”,
“lomba? Mau dong ikutan!”,
“boleh! Kita saingan nih! Haha!”,
“iya saingan yang sehat aja tapi! Gak pake acara, santet-santet atau segala macem kan? Hahaha!”,
“Hahaha! Bisa aja lo!”,
“ntar gue bilangin deh sama kakak gue…” Tiba-tiba angin melewati kami. Rambut Mikha jadi berantakkan kebelakang. Eh? Apa itu? Itu bekas luka permanen panjang, di pelipis kanannya. Baru tau.
“Mikh, itu kenapa?”,
“itu yang mana?”,
“yang ini!” aku menyentuh pelipisnya.
“Oh ini! Ini luka waktu gue masih kecil, gue jatuh dari sepeda bareng cewek yang gue bonceng”,
“Lo boncengin cewek?” mungkin nadaku bergetar, bukan karena marah, mungkin cemburu.
“Iya, temen masa kecil gue. Gara-gara itu, gue jadi gak berani naik sepeda lagi. Dan yang bakal lo tau, gara-gara ini juga gue jadi hilang ingatan. Gue gak bisa inget sapa temen kecil gue, gue gak bisa nginget apapun tentang kejadian sebelum gue jatuh. Sedih banget. Ini aja gue tahu semuanya dari kakak gue!” Dia berhenti, wajahnya menegang. Tiba-tiba mukanya pucat.
“Lo gak papa?” aku khawatir.
“nggak papa, gue mau ke toilet sebentar” dia pergi. Jatuh dari sepeda? Bareng temen cewek? Masih kecil? Jangan-jangan… DIA!
“Halo?”,
“Re, ntar ketemuan jam 5. Ada yang mau gue omongin sama elo. Ntar gue juga ngajak kak Tiexa. Ketemuan di Café star dideket jalan Gajah Mada ya!” klik. Kak Ridha mematikan teleponnya, bahkan sebelum aku menjawab, “iya” atau “liat nanti aja ya!”. Tunggu dulu, tapi ini kan Café Star. Berarti aku sudah disini sebelum dia mengajakku. Ini kebetulan yang aneh.
“Kenapa lo?” Mikha bertanya heran. Mungkin dia bingung ngeliat aku ketawa tiba-tiba setelah berpikir sejenak.
“Gak papa kok. Haha!” aku menjawab sambil belum berhenti tertawa.
“eh iya, Kata Tita lo vokalis band ya?” tiba-tiba dia tertarik.
“ya, begitulah. Suara gue emang gak seenak Maudy Ayunda sih”,
“Oh ya? Gue juga. Gue vokalis di band ‘The Overtunes’ band yang gue bentuk bareng kakak-kakak gue”. Pembicaraan ini menjadi lebih menarik, ketika kita sama-sama bersemangat membahas hal ini.
“nama band gue ‘Drira’. Band gue lagi sibuk gitu, soalnya mau ada lomba”,
“lomba? Mau dong ikutan!”,
“boleh! Kita saingan nih! Haha!”,
“iya saingan yang sehat aja tapi! Gak pake acara, santet-santet atau segala macem kan? Hahaha!”,
“Hahaha! Bisa aja lo!”,
“ntar gue bilangin deh sama kakak gue…” Tiba-tiba angin melewati kami. Rambut Mikha jadi berantakkan kebelakang. Eh? Apa itu? Itu bekas luka permanen panjang, di pelipis kanannya. Baru tau.
“Mikh, itu kenapa?”,
“itu yang mana?”,
“yang ini!” aku menyentuh pelipisnya.
“Oh ini! Ini luka waktu gue masih kecil, gue jatuh dari sepeda bareng cewek yang gue bonceng”,
“Lo boncengin cewek?” mungkin nadaku bergetar, bukan karena marah, mungkin cemburu.
“Iya, temen masa kecil gue. Gara-gara itu, gue jadi gak berani naik sepeda lagi. Dan yang bakal lo tau, gara-gara ini juga gue jadi hilang ingatan. Gue gak bisa inget sapa temen kecil gue, gue gak bisa nginget apapun tentang kejadian sebelum gue jatuh. Sedih banget. Ini aja gue tahu semuanya dari kakak gue!” Dia berhenti, wajahnya menegang. Tiba-tiba mukanya pucat.
“Lo gak papa?” aku khawatir.
“nggak papa, gue mau ke toilet sebentar” dia pergi. Jatuh dari sepeda? Bareng temen cewek? Masih kecil? Jangan-jangan… DIA!
*flashback*
“Kak Mikh! Aku gak pegangan nih! Tuh aku bisa terbang!” aku masih kecil, aku dibonceng oleh temanku sekarang. Dia berteriak pelan,
“Jangan! Nanti jatuh! Pegangan lagi!” Kak Mikha menyentuh pergelanganku lalu menaruhnya diatas pundaknya.
“Kak Mikha juga dong! Bisa nggak sepedaannya tapi gak pake pegang setir?”,
“enggak ah! Nanti kalau kita jatuh gimana?”,
“Ya biarin aja, yang penting kita nggak mati kan? Coba dong!”.
“nih aku bisa!” Kak Mikha merenggangkan tangannya. Semula dia seimbang, tapi sebelum ada lubang kecil yang membuat kita terlempar ke trotoar samping jalan. Tiba-tiba semuanya jadi gelap.
“Kak Mikh! Aku gak pegangan nih! Tuh aku bisa terbang!” aku masih kecil, aku dibonceng oleh temanku sekarang. Dia berteriak pelan,
“Jangan! Nanti jatuh! Pegangan lagi!” Kak Mikha menyentuh pergelanganku lalu menaruhnya diatas pundaknya.
“Kak Mikha juga dong! Bisa nggak sepedaannya tapi gak pake pegang setir?”,
“enggak ah! Nanti kalau kita jatuh gimana?”,
“Ya biarin aja, yang penting kita nggak mati kan? Coba dong!”.
“nih aku bisa!” Kak Mikha merenggangkan tangannya. Semula dia seimbang, tapi sebelum ada lubang kecil yang membuat kita terlempar ke trotoar samping jalan. Tiba-tiba semuanya jadi gelap.
#MIKHA#
Ahh.. waktu dia bilang soal luka ini. Kenapa kepalaku jadi sakit sekali sih? Arghh.. aku berhasil memegang pinggiran wastafel sebelum kakiku melemas dan membiarkanku terjatuh disana…
*flashback*
“Re! Re bangunn…!” dia benar-benar pingsan. Mungkin dia tidak berdarah, tapi dia tidak sadar. Tiba tiba setetes cairan merah terjatuk di kening Renata. Aku menyentuh kepalaku. Berdarah? Kepalaku berdarah hebat!. Aku tak peduli yang penting sekarang gadis ini harus selamat dulu!. Aku menggendongnya di punggung. Aku berjalan tertatih membawanya ke rumah. Ini rumahnya. “Tante!!” aku berteriak, “Tante!!!” tidak ada jawaban. Dari dalam tiba-tiba kakak Renata keluar. Dia terlihat khawatir lalu berlari dan mengambil Renata dari gendonganku. Syukurlah, dia sudah ditempat aman. Syukurlah… Lagi-lagi semuanya gelap….
*bersambung*
By: TIARA PRADITA
“Re! Re bangunn…!” dia benar-benar pingsan. Mungkin dia tidak berdarah, tapi dia tidak sadar. Tiba tiba setetes cairan merah terjatuk di kening Renata. Aku menyentuh kepalaku. Berdarah? Kepalaku berdarah hebat!. Aku tak peduli yang penting sekarang gadis ini harus selamat dulu!. Aku menggendongnya di punggung. Aku berjalan tertatih membawanya ke rumah. Ini rumahnya. “Tante!!” aku berteriak, “Tante!!!” tidak ada jawaban. Dari dalam tiba-tiba kakak Renata keluar. Dia terlihat khawatir lalu berlari dan mengambil Renata dari gendonganku. Syukurlah, dia sudah ditempat aman. Syukurlah… Lagi-lagi semuanya gelap….
*bersambung*
By: TIARA PRADITA
wah namaku udah adaa..hhheheh...
BalasHapuslanjut trus..maaf bru baca kmrn sibuk re.. :)
iya kak.. aku ya sori, sampe sekarang lanjutan ceritanya belom ada --" hehe
Hapus